Benarkah Peninggalan Dinasti Ming 1644 M?
GUCI coklat muda dengan motif daun bambu kuning dan burung elang sedang menari, memberi kesan riang dan perasaan indah. Guci ini tempatku bersembunyi ketika masa kecil dulu. (*)
Yuhandri Hardiman, Wakatobi
HARUS kuakui daya tarik guci ini sangat kuat. Sebab menjadi sesuatu yang selalu muncul di pikiranku, seolah-olah hanya guci ini yang menjadi energi rumah tua ini.(**)

Menggambarkan Alam Semesta
Masih adakah guci ini? Sebuah guci dengan motif tiga warna, coklat muda yang menggambarkan bumi, warna kuning menggambarkan kerajaan/kehidupan, kebahagiaan, dan optimisme dalam mitologi China. Sedangkan warna biru muda pada mulut dan seluruh bagian dalam guci, menggambarkan langit yang dalam budaya Tiongkok, warna biru langit (Qing) melambangkan kepercayaan, keabadian, dan kemajuan. (google)
Warna biru langit dianggap dapat mendatangkan hoki/keberuntungan, dapat memberikan ketenangan, kedamaian, dan kebebasan. Dalam dunia bisnis, warna biru langit dapat membantu melancarkan urusan komunikasi hingga negosiasi. Warna biru langit merupakan bagian dari elemen air dalam Feng Shui. Warna biru langit dapat memberikan kekuatan energi yang dapat diaplikasikan pada bagian timur, tenggara, dan utara pada rumah.
Guci ini secara singkat menggambarkan alam semesta. Dengan ini pantas untuk disebut sebagai karya seni yang tinggi pada zamannya. Jika diletakkan di dalam rumah maka akan memberi aura dan energi positif yang kuat.
Guci di Rumah Tua
Guci ini dalam ingatanku diletakkan di tempat yang strategis di sudut rumah. Rumah masa kecilku yang tak terawat, kini ditumbuhi semak-semak dan tumbuhan liar lainnya.
Beberapa dinding sudah ambruk tak bersisa, seolah-olah sebuah situs peninggalan masa lalu yang masih bisa dijelaskan keadaan setiap ruangan. Misalnya di dapur, dulunya terdapat meja panjang dan kursi yang kemungkinan terbuat dari kayu besi, kami selalu makan malam bersama di bawah cahaya lampu bakar. Saya ingat saya selalu duduk di atas meja saat makan, kira-kira usiaku beranjak 4 tahun pada tahun 1984.
Di ruang tamu dulunya terdapat lemari hias terbuat dari kayu hitam bercet hitam dengan bis putih menggaris. Bofet ini pada bagian dalamnya bercat hijau kebiru-biruan, penuh dengan gelas serba hijau daun muda, ornamen laut yang dikeringkan seperti batu karang pilihan, tumbuhan laut, ganggang kering yang sekilas menggambarkan dunia laut (aquarium air asin). Terdapat dua ekor ikan buntal kotak yang dikeringkan khusus (baca: ikan kudu-kudu) yang dalam bahasa lokal Tomia disebut gobe-gobe, diselip di antara tumbuhan laut dan batu karang, menjadi biorama kehidupan laut dalam lemari.
Alam Semesta dan Sketsa Seni Tinggi
Ini saja cukup untuk menggambarkan bahwa pemilik rumah ini dulu punya ketertarikan khusus terhadap seni. Lemari ini diletakkan berdampingan dengan guci motif daun bambu kuning dan elang menari, sekilas memberi energi positif pada ruangan ini. Guci warna coklat muda, dengan motif sederhana, terdapat garis pembatas paling bawah, lalu garis berbentuk cekungan yang menggambarkan air, lalu di batasi garis yang tidak putus. Di bagian tengah terdapat sketsa alam berupa burung elang yang sedang menari, daun bambu kuning, dan tanaman mirip pohon nenas dengan buah pada pucuknya yang berupa bulatan membentuk segitiga.
Ornamen pada guci ini dipastikan dibuat khusus menyerupai mitologi China. Burung elang adalah rantai makanan tertinggi pada kelompok burung. Dikutip dari lingoace.com, dijelaskan seperti ini: Burung elang dalam berbagai tradisi budaya dan spiritual di dunia melambangkan kekuatan, keberanian, dan kemampuan untuk mengatasi tantangan. Dalam mitologi Tiongkok, burung Phoenix atau Feng Huang melambangkan kebajikan, rahmat, dan penyatuan yin dan yang.
Dikutip dari topkarir.com, pohon bambu kuning melambangkan banyak hal, seperti kejujuran, kesetiaan, dan kekuatan. Bambu juga dianggap sebagai simbol keberuntungan, kebijaksanaan, dan umur panjang. Sedangkan air dalam kepercayaan China menurut google, adalah sumber kehidupan yang memberikan kesuburan dan kelimpahan. Sedangkan nenas melambangkan keberuntungan, kekayaan, dan kemakmuran.
Lemari yang diletakkan berdampingan dengan guci, di sejumlah lacinya dengan pintu kayu selalu terkunci rapat. Pernah sekali saya berhasil membukanya, di dalamnya penuh kamera/tustel bermerek dan sejumlah perlengkapan fotografi, termasuk trepot terbaik. Menurut saya wajar, karena La Yame (orang tua saya), dulu pernah bergelut di dunia fotografi, memiliki studio foto dan belajar khusus ilmu fotografi di Surabaya.
Tapi bovet yang saya ceritakan ini tidak ada lagi, bahkan sisa rayapnya tidak kelihatan. Saya simpulkan sudah berpindah tempat. Rumah masa kecilku dibangun di tempat yang strategis, di depan Rujab Camat Tomia, dekat TK, dekat KUA Kecamatan, dekat Masjid Raya, di dekat Puskesmas, dan akses ke pasar dan pelabuhan juga tidak jauh.
Asal-Usul Guci Tua
Ada dua tombak peninggalan Pappo (nama lain dari Tambusae), kakek dari ibuku, dan mungkin diturunkan dari ayahnya La Mboge, Kepala Distrik Tomia. Terdapat gong diletakkan bersama tombak mata besi itu, diletakkan di gelagar di atas sumur yang panjangnya kira-kira tiga atau empat meter dengan bahan kayu terbaik. Barang-barang ini sudah tidak ada, kemungkinan dijarah oleh orang.
Jadwal KM Wisata tertunda dua jam yang seharusnya pukul 09.00 Wita. Karena air sedang surut, maka jadwal molor hingga pukul 10.00 atau pukul 11.00 Wita ke depan.
“Saya harus singgah di rumah. Barangkali masih ada guci legendaris itu,” pikirku.
Guci ini entah dari mana asal-usulnya? Ayahku membelinya di Binongko di Rokuwa pada tahun 70-an dengan harga Rp 1 juta. Entah berapa harganya jika di konfersi ke kurs IDR saat ini.
Mungkin Rp 10 juta atau Rp 15 juta, atau bahkan lebih. Tetapi guci ini bukan guci biasa sebab dengan harga belinya yang tinggi, maka tidak pantas untuk diletakkan di tempat sembarangan. Tidak cocok untuk sekedar menampung air, atau benda cair lainnya.
Pembelinya bukan kaleng-kaleng, karena hanya sebuah guci tetapi harganya setara dengan harga sepeda motor. Sudah dipastikan pembelinya sangat tertarik dengan pertimbangan yang tidak main-main. Dan barangkali orang di masa itu akan berpikir masa bodoh dengan hanya sebuah guci dengan harga fantastis.
Ini porselen atau mungkin keramik, atau kah gerabah dengan teknik tinggi, cocoknya diletakkan di tempat istimewa di dalam rumah, misalnya di ruang tengah atau di ruang tamu. Dibandingkan dengan guci keramik moderen yang lebih halus, guci motif elang menari dan daun bambu ini lebih tebal dengan kesan masa lalu yang terlalu kuat. Warna di dalamnya full dengan balutan keramik warna biru langit mengesankan langit sedangkan warna coklat bambu tua, hampir mirip dengan warna kerajinan bambu yang sudah dipoles dan difernis, penggambaran bumi.
Porselen pertama kali berkembang di Tiongkok sekitar 2.000 dan 1.200 tahun yang lalu (google.com). Guci dengan motif serupa ketika saya melakukan pencarian di google, rupanya disebut gentong dan ada juga yang menyebutnya tempayan.
Guci seperti ini sudah sangat langka sehingga masuk kategori barang kuno. Di buka lapak ada beberapa yang dipajang dengan harganya. Guci serupa dibandrol Rp 10 juta sampai Rp 26 juta.
Dijelaskan guci ini peninggalan Dinasti Ming 1368M – 1644 M. Bahkan ada juga yang menjelaskan peninggalan Dinasti Chin 1644M – 1912 M. Belum terlalu banyak artikel yang memnajas khusus guci dengan jenis dan motif ini.
Menyelamatkan Guci Kuno
Aduh, terlalu indah untuk diceritakan. Saya harus datang mencarinya di rumah masa kecilku, mudah-mudahan masih ada. Saya harus amankan dan merawatnya.
Membayangkan dengan penuh was-was keberadaan guci yang telah sekian lama menjadi mutiara rumah. Setelah berhasil masuk dari ruang tamu, tak terlihat guci itu pada letaknya dulu. Saya masuk lebih dalam melewati semak-semak tebal di rumah tua itu.
Alhamdulillah, guci otentik ini hanya berpindah dari ruang tamu ke kamar utama. Tetap terlihat seperti mutiara di tengah rimbunan semak-semak. Terlihat kontras dan sangat menawan.
Masih utuh. 99,9% terisi penuh air hujan saat ditemukan. Meski sudah berusia ratusan tahun, dengan perubahan cuaca, guci ini tak retak dan tidak berlumut sama sekali.
Segera guci itu saya angkut dan saya pindahkan ratusan mil jaraknya ke Kota Baubau. Dia aman bersamaku menjadi mutiara di tengah rumahku.
Setelah dicuci dan dilap licin, auranya makin tegas memberi harmoni dan energi pisitif di tengah ruangan. Awalnya istriku mengira guci biasa yang digunakan neneknya menampung air hujan di kampung. Namun setelah melihat aslinya, ia hanya diam dan jatuh cinta.
Inilah guci dengan energi positif, motif burung elang, daun bambu kuning, dan tanaman nenas. Siapapun melihatnya akan jatuh cinta. Di samping karena indah, guci ini berusia ratusan tahun. (***)